Berbahagialah
Mana bisa? Tidak
realistis! Bukankah kemiskinan sulit diidentikkan dengan kebahagiaan? Sebutan
berbahagialah mereka yang miskin, yang lapar dan yang menangis diparalelkan
dengan celakalah mereka yang kaya, yang kenyang dan yang tertawa. Paralel ini
bukan berarti hitam putih. Orang yang kaya, kenyang dan tertawa pasti akan
menderita, atau yang miskin, lapar dan menangis pasti akan bergembira dan
bersukacita. Tentu hal ini pun tidak kemudian artinya : bahwa orang kaya
ditolak dalam Kerajaan Allah. Bukan. Namun, fokus ucapan Yesus di sini adalah
orang miskin, bukan orang kaya. Penerimaan kepada orang miskin tidak otomatis
berarti penyingkiran orang kaya.
Suasana kebahagiaan
dalam kehidupan seseorang, menurut Tuhan bukan dilandaskan pada kenyamanan yang
diperolehnya karena keberhasilannya, tapi justru sebaliknya, seseorang akan
mengalami kebahagiaan ketika ia melakukan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan
yaitu ketika ia menyatakan apa yang benar, apa yang adil, dan apa yang sesuai
dengan sabda atau firman Tuhan. Tapi yang seringkali terjadi, banyak orang
memposisikan diri sebagai orang yang hanya menyenangkan orang lain, meskipun ia
melakukan ketidakadilan, penindasan dan merugikan orang lain. Orang lebih
memilih menyenangkan orang lain, ketimbang menyenangkan Tuhan. Justru itulah
yang semestinya menjadi cermin bagi kita umat Kristen sepanjang zaman. Justru
karena Kerajaan Allah itu tidak diskriminatif dalam semua segi, termasuk segi
ekonomi, marilah kita meneladaninya.
Orang akan diberkati ketika melihat Kerajaan Allah itu terpancar dalam kehidupan gereja dan umat Kristen yang tidak membeda-bedakan hak orang untuk berbahagia, baik orang miskin maupun orang kaya. (AD)
Doa
Kami bersyukur kepada Tuhan yang kasih sayang dan kasihnya tidak mengenal kelas dan status sosial. Amin.