Berbahagialah

Lukas 6 : 17 – 26


Mana bisa? Tidak realistis! Bukankah kemiskinan sulit diidentikkan dengan kebahagiaan? Sebutan berbahagialah mereka yang miskin, yang lapar dan yang menangis diparalelkan dengan celakalah mereka yang kaya, yang kenyang dan yang tertawa. Paralel ini bukan berarti hitam putih. Orang yang kaya, kenyang dan tertawa pasti akan menderita, atau yang miskin, lapar dan menangis pasti akan bergembira dan bersukacita. Tentu hal ini pun tidak kemudian artinya : bahwa orang kaya ditolak dalam Kerajaan Allah. Bukan. Namun, fokus ucapan Yesus di sini adalah orang miskin, bukan orang kaya. Penerimaan kepada orang miskin tidak otomatis berarti penyingkiran orang kaya.

Suasana kebahagiaan dalam kehidupan seseorang, menurut Tuhan bukan dilandaskan pada kenyamanan yang diperolehnya karena keberhasilannya, tapi justru sebaliknya, seseorang akan mengalami kebahagiaan ketika ia melakukan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan yaitu ketika ia menyatakan apa yang benar, apa yang adil, dan apa yang sesuai dengan sabda atau firman Tuhan. Tapi yang seringkali terjadi, banyak orang memposisikan diri sebagai orang yang hanya menyenangkan orang lain, meskipun ia melakukan ketidakadilan, penindasan dan merugikan orang lain. Orang lebih memilih menyenangkan orang lain, ketimbang menyenangkan Tuhan. Justru itulah yang semestinya menjadi cermin bagi kita umat Kristen sepanjang zaman. Justru karena Kerajaan Allah itu tidak diskriminatif dalam semua segi, termasuk segi ekonomi, marilah kita meneladaninya.

Orang akan diberkati ketika melihat Kerajaan Allah itu terpancar dalam kehidupan gereja dan umat Kristen yang tidak membeda-bedakan hak orang untuk berbahagia, baik orang miskin maupun orang kaya. (AD)



Doa 

Kami bersyukur kepada  Tuhan yang kasih sayang dan kasihnya tidak mengenal kelas dan status sosial. Amin.