Tulisan ini kami ambil dari salah satu website gereja GKI, tapi karena sudah terlalu lama kami lupa dari website gereja yang mana.....tapi isinya masih relevan dan kami yakin bisa menjadi pengetahuan untuk jemaat ttg Ibadah yang setiap minggu mereka lakukan....maafkan kalau kami lupa sumber naskah ini tetapi kalau ada yang bisa memberitahu kami menghargainya.

Ibadah dan  Apa Perananku? 



Ibadah = Kerja Bersama

Pernahkah saudara menyaksikan pertunjukan? Konser atau drama? Dalam pertunjukan itu paling tidak ada tiga peranan yang penting:

  1. Sutradara; yang merancang jalannya konser atau pertunjukan supaya apa yang ditampilkan itu sesuai dengan alur yang dikehendaki. Ada langkah-langkah, ada arahan-arahan sehingga naskah itu bisa dilakonkan dengan baik.
  2. Pemain; yang memungkinkan seluruh apa yang dirancangkan oleh si sutradara berjalan dengan baik. “menerjemahkan” apa yang ada di dalam naskah/partitur supaya menjadi sebuah pertunjukan yang indah dan memuaskan. Sebagus apa pun naskahnya kalau tidak bisa diterjemahkan dengan baik, maka tidak akan bisa disampaikan maksud sutradara kepada penonton. 
  3. Penonton; yang menyaksikan konser atau drama itu. Apa jadinya pertunjukan tanpa penonton? Sebagus apa pun naskah drama, secakap apa pun pemain tetapi kalau tanpa penonton, maka akan mubazir sebuah pertunjukan. 

Ini yang penting; yang perlu saudara jawab: Menurut saudara, kalau saudara duduk di kursi jemaat: apa peranan saudara? Sebagai sutradarakah? Sebagai pemainkah? Atau sebagai penontonkah?
Coba direnungkan…

Kebanyakan dari kita pasti akan dengan segera menyebutkan diri sebagai penonton. Penonton yang menyaksikan pengkotbah yang menyampaikan Firman Tuhan, Penatua yang memimpin jalannya ibadah, paduan suara/vokal grup/solo yang menyanyikan lagu, dll. Oleh karena itu apa yang terjadi? Kita akan bertepuk tangan setelah paduan suara/vokal grup/solo tampil, menggerutu kalau penatuanya salah baca atau pengkotbahnya kelamaan waktu kotbahnya. Kita jadi tidak menikmati sebuah ibadah. Apalagi kalau kita mendapat tempat yang kurang strategis, panas dan tidak nyaman.

Lalu, kalau bukan sebagai penonton, sebagai apa seorang jemaat itu? 

Mari kita melihat peranan berdasarkan arti dasar dari sebuah ibadah: dalam arti umum maka ibadah itu berarti juga sebuah kerja bersama di antara orang-orang yang hadir. Dan itu berarti bahwa dalam sebuah acara semua orang terlibat dalam kerja bersama itu. Semua orang mengambil peranan. Dalam hal ini jemaat juga ikut serta di dalam liturgi yang dilaksanakan bersama. Jadi, jemaat bukanlah penonton yang menyaksikan “pertunjukan” liturgi yang dilakukan oleh pendeta, penatua, paduan suara/vokalgrup/solo. Jemaat adalah pemain.

Mengapa begitu? Dalam hal ini sutradara adalah orang-orang yang mengatur jalannya sebuah ibadah. Dalam hal ini ada naskah yang dibuat oleh sutradara dalam bentuk liturgi. Dalam liturgi ada tata urutan yang diikuti. Bukankah saudara ikut berdiri jikalau dalam liturgi ditulis berdiri? Duduk jikalau di liturgi dituliskan duduk? Bersalaman jikalau di liturgi dituliskan bersalaman? Saudara adalah Pemain dalam liturgi itu. Karena itu peranan saudara sangat penting dalam melaksanakan “naskah” liturgi itu, baik dalam hal bernyanyi, berdoa, menanggapi Firman dll. Dalam hal ini pemain yang baik tentulah perlu menghayati peranannya dengan baik. Karena itu perlu:

  1. Hayati liturgi dengan baik; baca naskah liturgi sebelum ibadah dimulai. Apa peranan saya?
  2. Pelajari apakah ada lagu atau bagian liturgi yang sulit untuk dilakukan.
  3. Doakan jalannya ibadah supaya berjalan dengan baik, untuk mendukung para sutradara melaksanakan tugasnya. Kalau saudara berkenan hal ini malahan perlu dilakukan sebelum saudara hadir dalam ruang ibadah.
  4. Ikuti jalannya ibadah dengan baik. 

Tentu saudara bertanya: Kalau saya sebagai pemain, siapa yang menjadi penonton? 
Tuhanlah sebagai penonton. Dialah yang menyaksikan persembahan ibadah yang kita lakukan. Baik sebagai sutradara dan pemain dalam ibadah kita. Dia akan tersenyum kalau kita bisa melaksanakan ibadah kita dengan baik. Selamat menjadi pemain yang baik!

Sutradara dan Naskah
Seperti yang sedikit sudah disinggung diatas, maka sutradara adalah orang yang merancang. Apa yang dirancang? Ibadah, yang tujuannya adalah untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan. Sutradara adalah yang mengatur dan yang diberikan tugas untuk mengatur para pemain (jemaat) yang berperanan dalam ibadah itu. Lalu, siapa yang disebut sebagai sutradara? Sutradara dalam sebuah ibadah adalah “pengatur” dalam ibadah itu. Dalam hal ini adalah orang-orang yang mengajak jemaat untuk melakukan sesuatu dalam rangkaian ibadah itu. Yang mengajak menyanyi, bersalaman, berdiri, mengakui iman, dll. Artinya semua yang bertugas dalam ibadah itu. Siapa saja? Pengkotbah, Penatua, organis/pianis/pemain musik, song leader, Paduan Suara/Vokal Grup/Solo/Duet/Trio, dll. Sutradara perlu mempersiapkan dirinya sehingga ketika “mengatur” jemaat, bisa mengaturnya dengan baik. Paling tidak ia/mereka harus memahami alur dari ibadah. Apa yang akan diatur untuk pemain.

Naskah 
Karena itu “naskah” yang merupakan alur sebuah ibadah harus jelas. Dalam liturgi kita memang menjadi sebuah kebiasaan yang dilakukan dalam rangkaian ibadah itu; duduk dan berdiri, dll. Tetapi tentu perlu untuk menjadi jelas, supaya semua orang yang terlibat dalam liturgi itu mampu berperanan dengan baik. Sama dengan sebuah pertunjukan; kalau sutradaranya baik, pemainnya baik tetapi naskahnya tidak bisa dipahami, bagaimana pemain akan berlakon? Bagaimana penonton akan memahami alur dari ibadah? Memuji atau mencela? Oleh karena itu “naskah” harus dipersiapkan dengan baik supaya bisa dipahami, dihayati dan dijalankan dengan baik. Naskah yang baik tidak harus ditulis semua hal, yang penting adalah bisa dipahami oleh masing-masing pelaku sehingga ibadah bisa berjalan dengan baik. Naskah kita adalah Tata Ibadah yang kita lakukan, yang terdiri dari lagu dan berbagai hal yang berkaitan dengan ibadah itu. Naskah itu–kalau diketik–harus merupakan naskah yang membantu jemaat melakukan pujian dan pemuliaan Tuhan dalam ibadah itu. Lagu yang dipilih harus juga sesuai dan merupakan sebuah rangkaian alur yang mengajak jemaat untuk menghayati sesuatu hal (tema) dalam rangka memuji dan memuliakan Tuhan.

Yang Bisa dilakukan 
Kalau demikian, apa yang bisa dan harus dilakukan? Para sutradara dan naskah yang dibuat harus dipersiapkan dengan baik. Para sutradara harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya; persiapan diri (pribadi), persiapan menghayati naskah dan berperanan dalam ibadah itu, hadir jauh lebih awal daripada pemain sehingga mampu mengoreksi yang salah atau yang belum dilakukan.

Coba direnungkan…
Bagaimana kalau sutradara tidak mempersiapkan diri dengan baik? Apakah ia/mereka memberikan persembahan dengan baik? Setiap orang yang berperanan dalam ibadah sudah semestinya merupakan orang yang bersedia untuk bersiap lebih supaya semua berjalan dengan baik.
Mengapa? Karena kita memuji dan memuliakan Tuhan

Votum dan Salam 
 

Bagian Selanjutnya yang akan kita bahas adalah dalam rangkain ibadah selalu diawali oleh Votum dan salam dan kebanyakan kita melakukan secara rutinitas...semoga penjelasan ini bisa membuat kita menyadari maknanya dan bsia melakukan dengan lebih berhikmat.

Dalam tulisan tentang Tata Ibadah GKI, secara garis besar telah diterangkan tentang liturgi GKI. Berikutnya akan membahas tentang bagian-bagian liturgi yang penting untuk dipahami lebih dalam sehingga kita melihat: mengapa itu mesti ada dalam liturgi kita?

Secara garis besar, liturgi GKI dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:

  1. Jemaat Berhimpun 
  2. Pelayanan Firman 
  3. Pelayanan Persembahan 
  4. Pengutusan

 Susunannya tentu tidak boleh dibolak balik, sekali pun dimungkinkan adanya variasi yang membuat ibadah itu “hidup”. “Votum dan Salam” itu berada dalam bagian “Jemaat Berhimpun”. Selain “Votum dan Salam”, ada bagian-bagian lain yang merupakan bagian “Jemaat Berhimpun” tersebut, yang akan dibahas satu persatu.

Votum dan Salam; dulu dan kini
Dalam liturgi GKI yang lalu, votum dan salam merupakan satu rangkaian, sehingga ketika pengkhotbah menyampaikan votum, langsung disambung dengan salam, baru jemaat menjawabnya dengan pernyataan: “Amin… amin… amin.” (yang berarti “Percaya”). Tentu bukan soal salah dan benar ketika dalam bagian saat ini jawaban untuk votum dan salam dipisahkan sendiri-sendiri. Dalam pemahaman saat itu, tentu votum dan salam dihayati sebagai bagian yang tidak terpisahkan, sehingga dijawab sekaligus. Votum dan salamnya sekaligus diaminkan. Tetapi saat ini melalui studi yang lebih mendalam tentang liturgi, pemahamannya sudah berubah. Bahwa votum itu memang dijawab dengan “Amin” dan Salam dijawab dengan “Dan Besertamu juga.” Mana yang benar? Sekali lagi: ini bukan soal salah dan benar, tetapi soal penghayatan dan pemberian maknanya. Kalau dulu kita hanya mengikuti “Votum dan Salam” yang digabung, itu karena kita mengikuti liturgi dari gereja Belanda, yang memang begitu dari sononya. Dan kalau akhir-akhir ini ada beberapa teolog (karena ada yang pendeta maupun bukan) yang meneliti dan memberikan hasilnya yang disepakati dalam Persidangan Sinode, ya itulah kesepakatan kita bersama dalam kebersamaan kita sebagai GKI. Dan oleh karena itu, maka akan diterangkan tentang: Votum dan Salam itu.

Apa itu Votum? 
Votum adalah sebuah pengakuan. Ingat istilah bahasa Inggris dalam pemilihan umum? Vote. Kata ini berakar dari bahasa yang sama dengan votum. Votum itu berarti pengesahan/dukungan suara. Jadi ketika votum itu dinyatakan, itulah pernyataan dari Allah yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang menjadi sumber dari segala pertolongan umat. Karena itu Votum bahwa: “Pertolongan kita berasal dari Tuhan, pencipta langit dan bumi” (atau dengan pernyataan yang lain). Pernyataan ini adalah pernyataan pengkhotbah yang mewakili Allah di hadapan umat. Dalam pernyataan ini maka jemaat menjawabnya dengan: “Amin… amin… amin.” (percaya). Jemaat menyatakan/menjawab pernyataan dari Allah itu dengan menyatakan “Ya, Tuhan, aku percaya bahwa dalam setiap langkah hidup kami itu adalah merupakan bagian-bagian pertolongan Tuhan. Baik yang menyenangkan kami
maupun juga yang tidak menyenangkan kami, bahkan yang menyakiti kami. Kami percaya bahwa Tuhan sanggup menjadikan yang tidak baik menjadi kebaikan bagi kami.” Yang sering ditanyakan; bagaimana sikap jemaat ketika votum dinyatakan? Sama seperti kebiasaan kita yang dari dulu, maka ketika votum diucapkan, jemaat dengan sikap berdiri (kecuali untuk yang tidak bisa berdiri; menunjukkan kesiapan untuk mendengar pernyataan Allah itu dan mengakuinya; dengan mengucapkan “amin”. Ini bukan doa, karena itu bukan dengan memejamkan mata tetapi menunduk dan meresapi makna kata-kata yang diucapkan pengkhotbah dan menjawabnya dengan penuh keyakinan.

Apa itu Salam? 
Salam adalah pernyataan dari Allah yang dinyatakan juga oleh Pengkhotbah. Salam ini menyatakan bahwa Allah mau menyapa kita. Dalam hal ini pengkhotbah menyatakan bahwa penyertaan dan pimpinan Allah-lah yang menyertai dan memimpin setiap orang percaya, yang datang kepada kita terlebih dahulu dibanding dengan kita. Lalu mengapa jemaat menjawabnya dengan “Dan beserta saudara juga”? Karena di sinilah makna persekutuan orang beriman; bahwa jemaat saling memberikan salam satu dengan yang lain, supaya semua merasakan “Syalom” (damai sejahtera) dalam hidupnya. Apakah tidak boleh pengkhotbah yang menjadi alat di tangan Tuhan mendapatkan damai sejahtera? Tentu jawabnya harus, karena itu salam juga disampaikan oleh jemaat. Sikap jemaat, ya tentu bukan juga sikap berdoa, tetapi seperti juga ketika kita memberi salam kepada orang lain, menyapa dengan menatap kepada yang disapanya.


Pengakuan Dosa 


PENDAHULUAN 
Mengaku dosa. Apa yang dilakukan dalam pengakuan dosa? Apakah tidak cukup bagi Tuhan bahwa aku sudah minta maaf dan minta ampun? Apakah kesalahanku yang 5, 10 tahun yang lalu yang harus aku akui? Bagaimana sikap kita ketika kita mengakui dosa?

PENGAKUAN DOSA: APA ITU? 
Ibadah adalah sebuah perjumpaan. Perjumpaan umat dengan Allah yang datang ke dunia untuk “bercakap—cakap”. Sama seperti Allah yang ingin senantiasa bercakap—cakap dengan manusia dan perempuan pertama di taman Eden (lih. Kejadian 3), demikian juga Allah ingin berjumpa dengan umat—Nya. Lalu, apa yang terjadi? Dalam Kejadian 3 jelas bahwa dosa itu menghalangi hubungan antara Allah dan manusia. Mereka berdua merasa takut kepada Tuhan dengan membuat cawat dari daun-daunan karena mereka telanjang. Di hadapan Tuhan kita adalah orang—orang yang “telanjang”, tidak ada satupun yang tertutupi. Dalam kelemahan, kita melakukan banyak dosa. Kita adalah makhluk lemah yang berkali-kali melakukan kesalahan. Kesadaran inilah yang membawa kita datang untuk mengakui dosa dan kesalahan; sengaja atau tidak sengaja. Lalu, dosa yang mana? Tentu bukan dosa yang sudah ditumpuk—tumpuk dan kita ingat—ingat terus (Terjemahan bebas ilustrasi Anthony de Mello: ketika seorang berdoa dan mengatakan: “Tuhan ampuni dosa saya setahun yang lalu.” setelah setiap hari berdoa. Apa jawab Tuhan? “Dosa yang mana? Aku sudah melupakan, anak—Ku”). Tuhan tidak mengungkit—ungkit kesalahan. Hanya diperlukan dari kita pengakuan yang tidak berbelit-belit dan kesediaan untuk mengisi hidup baru yang Tuhan beri itu dengan sebaik—baiknya. Pengakuan/pernyataan ini hanyalah Minggu per Minggu karena setiap Minggu sudah diakui dan sudah dihapuskan 0leh Tuhan. Pengakuan bukan merupakan kesempatan untuk melakukan dosa lagi dan lagi. Kalau kemarin kertas yang diberikan kepada kita, kita coret dengan “gambar” yang tidak baik, maka hidup ke depan adalah kesempatan untuk mencoret dengan baik dan indah; berusaha lebih baik dan lebih baik lagi.

DALAM DOA ITU DIBAGI MENIADI DUA: 

  1. Doa pribadi yang merupakan wujud pernyataan pribadi yang diakui sendiri 0leh setiap umat Tuhan sebagai pribadi yang melakukan dosa. 
  2. Doa oleh pengkhotbah atau Liturgos yang merupakan rangkuman (doa bersama) dari umat kepada Tuhan. Karena itu kalimatnya tidak khas, tetapi penegasan dan pernyataan bersama yang mendorong umat untuk melakukan yang terbaik untuk Tuhan di hari yang akan datang. 

Dalam doa ini tentulah umat merasakan bagaimana Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya; sebesar apa pun, asal dengan sungguh—sungguh mengakuinya di hadapan Tuhan dan bertekad untuk mempunyai hidup yang baru.

 Catatan kecil: 
Tidak semua doa adalah doa pengakuan dosa. Karena itu tidak semua doa juga mengakui dosa kita. Ada doa permohonan, doa pengakuan, doa syukur dan lain—lain, tergantung maksud kita menaikkan doa kita


Berita Anugerah


Berita Anugerah = Kabar Gembira Bagi Umat yang Lemah
Ketika dinyatakan sebagai berita anugerah, maka ini merupakan pernyataan bahwa Allah yang Mahamurah itu mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Dia tidak mengingat-ingat dosa umat-Nya dan membuka tangan-Nya untuk manusia, umat milik kepunyaan-Nya. Anugerah Allah itu dinyatakan dengan membacakan bagian dari Firman Tuhan yang menyatakan bagaimana kasih-Nya kepada umat. Bagian yang bisa dipilih antara lain Yohanes 3:16; yang menyatakan bagaimana anugerah Allah itu benar-benar nyata Ia berikan kepada umat. Dalam hal ini umat menanggapinya dengan menyatakan “Syukur kepada Allah”. Jadi anugerah itu berasal dari Allah, bukan oleh karena si pengkhotbah. Si pengkhotbah adalah saluran penyampaian anugerah Tuhan kepada umat-Nya, bukan pemberi anugerah. Bahkan pengkhotbah juga adalah merupakan umat yang berdosa dan menerima anugerah itu.
Allahlah yang memulai perdamaian! Hal yang sama juga dialami oleh Abram, ketika ia mengadakan perjanjian dengan Allah (atau tepatnya: Allah mengadakan perjanjian dengan Abram). Allah yang berinsiatif, Allah yang mengampuni dan Allah yang selalu menyertai. Pembakaran korban penghapus dosa dan korban-korban lain merupakan kelanjutan dari perjanjian antara Allah dengan umatNya.

Salam Damai 
Apa yang dilakukan setelah diampuni dosanya? Allah sudah berdamai, bahkan mengambil inisiatif damai itu. Perdamaian yang Allah berikan itu tidak akan menjadi sesuatu hal yang berguna ketika kita tidak berdamai dengan sesama. Memang dalam ibadah disimbolkan dengan orang/jemaat terdekat. Tetapi pada hakikatnya perdamaian itu adalah perdamaian yang dilakukan untuk semua orang (dan bukankah juga orang yang terdekat; suami, istri, anak, orang tua, mertua, menantu, dan lain-lain, yang justru seringkali kesalahannya atau kesalahan kita dipendam). Jadi tindakan bersalaman bukan sekadar seremonial (ada dalam liturgi) tetapi tindakan untuk menyatakan perdamaian di antara umat yang sudah diampuni oleh Allah.

Pujian Setelah Berita Anugerah 
Pujian setelah berita anugerah tentulah merupakan pujian yang menyatakan syukur sudah diampuni dan sudah berdamai dengan sesama dan merupakan tekad dan kesiapan menerima Firman yang akan disampaikan, dan melakukannya dalam hidupnya setiap hari.

Pemberitaan Firman 


Topik ini sebaiknya dibagi dalam beberapa bagian. Di bagian pertama ini kita membahas dari doa sampai dengan saat hening; artinya pembahasan kita adalah dari:

  1. Doa,
  2. Pembacaan Alkitab, 
  3. Khotbah dan 
  4. Saat hening. 



Doa 
Sebelum pembacaan Firman Tuhan, maka pelayan Firman akan menaikkan doa. Pernah ada yang bertanya: “Mengapa perlu berdoa? Kok di tempat yang lain (maksudnya ketika berita anugerah, dll.) tidak berdoa?” Doa di bagian ini adalah doa untuk memohon pimpinan Roh Kudus dalam rangka pembacaan dan penguraian Firman Tuhan (dulu sering disebut dengan doa epiklese). Mengapa? Karena Firman yang kudus sedang dibacakan, sehingga jangan sampai umat salah membacanya. Pelayan Firman memang bertindak selaku pelayan, bukan tuan atas Firman yang diberitakan.
Inilah fungsi doa pelayanan Firman, yaitu sebagai harapan agar Tuhan sendirilah yang menyertai dan menolong pembacaan dan pemberitaan Firman.

 Pembacaan Alkitab
 Bagian-bagian dalam Alkitab merupakan Firman Tuhan yang menuntun umat-Nya dalam hidup di dunia ini. Sejak beberapa waktu yang lalu, pembacaan Alkitab di GKI memang ditentukan secara leksionaris. Pembacaan ini mengandung empat unsur:

  1. Kitab Perjanjian Lama kecuali Mazmur 
  2. Mazmur 
  3. Surat-Surat (Perjanjian Baru)
  4.  Injil 

Mengapa keempatnya dibaca? Tentu hal ini memerlukan uraian panjang, tetapi singkatnya ialah bahwa dalam rangkaian pembacaan itu terdapat dasar/landasan kehendak Tuhan atas umat-Nya yang diambil dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus (dalam Injil) mempunyai dasar dalam Perjanjian Lama dan penerapan dalam Surat-Surat. Mazmur adalah Mazmur antar bacaan yang tidak hanya dibacakan secara bersahut-sahutan (seperti biasanya) tetapi juga bisa didaraskan atau dinyanyikan. Bacaan-bacaan ini disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai benang merah dalam pembacaan Firman.

Khotbah
Khotbah secara singkat bisa dikatakan sebagai pemberitaan Firman Tuhan, atau uraian Firman Tuhan. Jadi khotbah tidak boleh melenceng dari Firman yang sudah dibacakan dan yang menjadi dasar/landasan pemberitaan Firman.

Saat Hening 
Saat hening bukanlah berdoa, tetapi menyarikan/merenungkan: “Apa yang sudah Tuhan firmankan hari ini?” sehingga menjadi bekal kehidupan selama sepekan dalam menjalani tantangan hidup.


Pengakuan Iman dan Doa Syafaat 


Jemaat sering kali menganggap bahwa pelayanan Firman hanya disampaikan di antara doa pelayanan Firman (doa epiklese = doa memohon pertolongan Roh Kudus dalam pembacaan dan penguraian Firman) dan saat teduh. Setelah itu?

Pemahaman Baru
 Dalam pemahaman baru, pelayanan Firman dimulai dari doa pelayanan Firman sampai doa syafaat. Mengapa? Karena liturgi pelayanan Firman tidak terbatas pada Firman yang diterima oleh jemaat saja, tetapi juga melibatkan respons jemaat atas Firman yang diberikan, yakni dengan mengaku percaya dan berdoa syafaat. Jadi Pengakuan Percaya dan Doa Syafaat tidak berdiri sendiri atau termasuk dalam Persembahan, tetapi merupakan bagian dari pelayanan Firman, karena apa yang sudah diberikan oleh Tuhan ditanggapi jemaat dengan pengakuan (Pengakuan Iman) dan permohonan (Doa Syafaat). Jemaat menyadari bahwa pertolongan hanya berasal dari Tuhan.

Pengakuan Iman 
Apakah Pengakuan Iman itu? Seperti dikatakan di atas, Pengakuan Iman merupakan respons jemaat atas Firman yang diberitakan Allah melalui pengkotbah. Bagian ini tidak dinamakan Pengakuan Iman Rasuli, karena Pengakuan Iman Rasuli hanya merupakan salah satu pengakuan iman. Respons ini bisa diucapkan atau dinyanyikan. Pengakuan Iman apa yang diucapkan? Yang biasa diucapkan adalah Pengakuan Iman Rasuli, tetapi bisa juga Pengakuan Iman lainnya. GKI sebagai gereja Calvinis (pengikut aliran Johanes Calvin, salah seorang reformator gereja), mengakui dan menetapkan tiga pengakuan iman, yakni Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea–Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius (lihat bagian belakang buku NKB dan Tata Gereja). Ketiga-tiganya dapat diucapkan dalam kebaktian, tetapi memang Pengakuan Iman Rasuli paling dikenal, karena lebih singkat dan mudah diingat. Selain diucapkan, pengakuan iman dapat juga dilakukan dengan pujian (misalnya KJ 280). Apakah inti Pengakuan Iman? Pengakuan Iman bersumber pada pengakuan bahwa jemaat sebagai pribadi menyatakan kepada Tuhan dan sesamanya bahwa ia memercayai Allah yang Esa, yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Doa Syafaat 
Doa syafaat adalah doa permohonan, namun bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk orang lain dan dunia. Doa ini dinaikkan secara bersama-sama; bisa hanya diwakili oleh pengkotbah, oleh beberapa orang atau dengan bersahut-sahutan. Variasi dalam menaikkan doa bisa saja dilakukan. Lalu, bagaimana dengan doa “Bapa Kami”? Doa ini sebenarnya adalah doa syafaat juga. Jadi setelah doa syafaat dinaikkan, semestinya tidak lagi dinaikkan doa Bapa Kami. Mengapa? Karena kalau kedua-duanya dinaikkan, maka akan terjadi duplikasi doa. Jadi selain berbagai variasi doa, kita bisa saja hanya menaikkan doa “Bapa Kami”.