Menemukan Ketenangan Dalam Doa
Surat Habakuk merupakan sebuah kecemasan.
Habakuk hidup ditengah penjajahan Kerajaan Babel (atau Kasdim). Di bawah
pemerintahan Nebukadnezar, Babel ekspansi besar-besaran dan merupakan negara
adidaya di kawasan Mesopotamia. Allah menyebut mereka "bangsa yang garang
dan tangkas" (1:6). Sayangnya, seperti penjajahan lainnya, ekspansi ini
penuh noda. Lima ciri ekspansi bangsa Kasdim: mengambil yang bukan miliknya (ay
6); mengambil laba yang tidak halal (ay 9); menumpahkan darah dan melakukan
ketidakadilan (ay 12); penuh kemarahan dan manipulasi (ay 15); dan tidak
menghormati Allah yang hidup (ay 19).
Betapa karakter ini tergambar jelas di
hari-hari terakhir kerajaan Yehuda. Zedekia, raja terakhir Yehuda, memberontak
terhadap Babel (2 Rj 24). Nebukadnezar mengepung Yerusalem selama 18 bulan dan
mencekik kota tersebut hingga kelaparan. Akhirnya mereka tidak tahan dan nekat
melarikan diri menembus barikade pasukan Babel. Apa daya, Zedekia tertangkap.
Hal terakhir yang dilihatnya adalah anak-anaknya disembelih di depan matanya.
Nebukadnezar kemudian membutakan matanya dan membuangnya ke Babel. Dia berumur
sekitar 32 tahun saat hal ini terjadi.
Inilah kondisi yang membingkai kehidupan
Habakuk, sehingga dia tidak tahan dan mengadu pada Tuhan. Bangsanya porak
poranda, kehidupan dijungkirbalikkan. Bertanya mengapa Tuhan membiarkan ini
terjadi. Tapi secara pribadi, komunikasi Habakuk dengan Tuhan ini menghasilkan
sesuatu yang lebih istimewa: Habakuk tidak lagi diliputi kecemasan.
Doa membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan makin dekat dengan Tuhan. Dengarkanlah petikan penutup suratnya: "namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami. Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah ... aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (AGS)
DOA:
Ya Allah, kami bersyukur Engkau mau mendengarkan kami.
Bimbinglah kami untuk berpaling padamu di kesusahan kami. Amin